EMANSIPASI WANITA

Minggu, 16 Oktober 2011


EMANSIPASI WANITA
(Ulfa Diana Rakhmawati - XG)

Emansipasi wanita di Indonesia dipelopori oleh R.A Kartini , seorang wanita dari keluarga bangsawan yang lahir pada tanggal 21 April 1879. Beliau berjuang dengan gagah berani untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita pada jamannya, hingga akhirnya kita dapat merasakan hasilnya sampai saat ini. Dahulu, kedudukan sosial seorang wanita sangatlah rendah. Kaum wanita sama sekali tidak diperbolehkan bersekolah dan mengenyam pendidikan. Mereka hanya diperbolehkan untuk diam dirumah orang tuanya, saat berusia 12 tahun mereka harus dipingit, dipersiapkan untuk menikah, dan setelah mereka menikah, mereka hanya bisa diam dan melakukan berbagai kegiatan sebatas tembok rumah saja dengan berbagai aturan yang ditetapkan. Memang kondisi kaum wanita saat itu sangat terpuruk. Mereka diikat dan dibelenggu oleh adanya hukum adat yang sangat kental dan tegas. Hukum adat disana mengatakan tugas seorang wanita hanyalah di dapur dan melayani suami. Mereka tidak dapat memperoleh pendidikan hanya karena hukum adat yang mengatakan seperti itu. Hingga muncullah R.A Kartini yang memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, semangat yang tinggi, pengetahuan yang luas yang merasa geram dengan hukum yang ada di sekitarnya. Beliau merasa sedih karena kaum wanita sepertinya tidak diperbolehkan mengenyam pedidikan yang tinggi seperti halnya kaum lelaki. Beliau sangat ingin merubah nasib kaum wanita saat itu.
Saat berusia 12 tahun, setelah tamat sekolah dasar “Europese Lagere School”, Kartini harus menjalani masa pingitan atau yang biasa disebut masa persiapan untuk menikah. Masa dimana beliau harus dilatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah, agar kelak beliau dapat mengurus keluarganya dengan baik. Sejak saat itulah hidup beliau yang ceria berubah menjadi kesepian dan hampa. Beliau sudah tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi padahal dalam benaknya, beliau sangat ingin bersekolah dan mendapat ilmu sebanyak-banyaknya. Hidupnya ibarat burung dalam sangkar emas. Hidup dalam rumah yang mewah dan indah dengan kehidupan terpuruk dan tersiksa. Keluarganya sangat memegang teguh adat lama, mereka sama sekali tidak menyetujui keinginan Kartini yang menghendaki adanya perubahan atas kaum wanita. Walaupun keluarganya tidak menyetujui akan hal itu, Kartini tetap berusaha untuk mewujudkan cita-cita luhurnya tersebut. Kartini berpikir, tidak ada gunanya jika beliau hanya menangis dan menyesali akan keadaannya. Hingga akhirnya, Kartini hanya bisa mencurahkan cita-cita perjuanganya dengan membaca apapun yang beliau dapatkan dari ayah dan kakaknya, serta menulis surat pada teman-temannya di Belanda. Beliau sangat rajin dalam menulis surat kepada temannya di Belanda. Isinya mengandung cita-cita luhur terutama untuk mengangkat derajat kaum wanita di Indonesia.  Dalam salah satu surat Kartini kepada Nn. Zeehandelaar (6 November 1899) beliau berkata :
“Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal ? sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau tempat serupa itu. tetapi bukan ! Stella, penjaraku adalah sebuah rumah besar, berhalaman sangat luas disekelilingnya. Tetapi disekitar halaman itu ada tembok yang amat tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya.”
Dalam surat tersebut, Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yakni tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal dan harus bersedia dimadu. Bagi kartini lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa. Selebar dan seluas apapun dunia. Empat tembok rumah merekalah yang akan menjadi dunia mereka.
Berkat surat-surat Kartini inilah, tahun 1903 didirikan Sekolah Kartini Pertama di Semarang. Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 September tahun 1904 R.A Kartini harus menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat 4 hari setelah beliau melahirkan anak pertamanya dari pernikahannya dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat yang diberi nama Singgih / RM Soesalit.
Perjuangan R.A Kartini tidak serta merta didapatkan begitu saja, butuh proses dan perjalanan yang amat panjang dalam menapakinya. Maka gerakan emansipasi yang telah terbentuk ini telah berjasa besar dalam menghantarkan kaum wanita Indonesia menuju mimbar kehormatan dan gerbang kebebasan. Namun harus dipahami kebebasan disini bukan berati sesuatu yang harus dilebih lebihkan. Kebebasan disini maksudnya ialah kebebasan yang berkualitas, bukan kebebasan 100 % karena walau bagaimanapun, hukum alam telah berkata bahwa memang kaum perempuan tidak bisa disamakan dengan kaum laki-laki, itu semua tergantung kodrat nya masing-masing. Sehingga emansipasi wanita yang tepat adalah memperjuangkan agar wanita bisa memilih dan menentukan nasibnya sendiri tanpa menyalahi kodrat mereka, dan untuk tahap selanjutnya pembekalan agar wanita tersebut mampu untuk menentukan nasib dan membuat keputusan yang sering kita sebut dengan pemberdayaan wanita.
 Realita melintas di tengah-tengah kehidupan modern seperti ini, bahwa wanita tidak lagi dipandang sebelah mata, lebih dihargai dan dihormati. Dewasa ini, tidak dapat ditampik bahwa telah banyak kaum wanita menitih karir , pendidikan bahkan jabatan melebihi kaum pria, yang memang sudah menjadi tuntutan zaman. Namun ini tidak berarti bahwa, kaum wanita harus focus terhadap pekerjaannya dan melupakan kodratnya sebagai seorang wanita serta mengurus keluarganya.
Di Zaman modern seperti ini, tidak dapat ditampik bahwa beberapa kaum wanita telah salah mengartikan adanya emansipasi wanita di Indonesia. Beberapa di antara kaum wanita mengatakan dan berfikir bahwa mereka harus setara dengan kaum adam atau laki-laki dengan melupakan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang diajarkan kepada mereka sejak dini di Indonesia. Seperti pergaulan bebas tanpa batas, berpergian tanpa mahram dan  bahkan ada yang berfikir bahwa menikah adalah sesuatu yang menghambat adanya emansipasi wanita. Bukan ini yang disebut emansipasi wanita. Jika emansipasi wanita dalam hal ini adalah sesuatu yang bebas 100 % tanpa adanya batasan gender wanita ataupun laki-laki maka ini akan menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan seperti :
Timbulnya pengangguran bagi kaum pria, sebab lapangan pekerjaan telah dibanjiri oleh kebanyakan kaum wanita. Tidak heran karena survey membuktikan bahwa wanita adalah makhluk Tuhan yang paling banyak menempati dunia saat ini. Dan kebebasan yang disalah artikan dapat menyebabkan banyaknya kaum wanita yang bekerja dan kaum laki-laki yang menjadi pengangguran. Bukankah kaum wanita adalah tanggungan kaum laki-laki. Jika semua wanita menjadi tulang punggung keluarga bagaimana nasib dan  tanggung jawab seorang laki-laki. Apakah kejadian pada masa lalu akan berbalik pada masa kini dimana wanita menjadi pemimpin dan laki-laki harus berada di bawah dan timbul emansipasi pria ?. tidak mungkin kan?
Dampak lainnya adalah pecahnya keharmonisan rumah tangga, sebab kaum wanita lalai akan tugas utamanya dalam rumah seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, melayani suami dan anggota keluarga. Akibatnya rumah tanggapun berantakan dan tak terurus. Kemudian keadaan perkembangan anak menjadi kurang terkontrol, lantaran ayah dan ibu sibuk bekerja di luar rumah hingga sang anak di lantarkan dan diurus oleh pesuruh atau pembantu rumah tangga dan kemudian anak kehilangan rasa kasih sayang dari orangtuanya. Sehingga dari celah inilah tumbuh dengan subur suatu keadaan yang dinamakan kenakalan remaja. Selain itu dampak lainnya adalah percekcokan dan perseteruan antara suami-istri dikarenakan suami menuntut pelayanan dari sang istri dengan sebaik – baiknya. Si istri merasa capek dan lelah , lantaran seharian bekerja di luar rumah. Serta terjadinya perselingkuhan yang sering sekali kita jumpai di jaman yang seperti ini. Karena ditempat kerja tersebut, tidak ada lagi larangan bergaul antar lain jenis, dandanan yang menggoda lawan jenis dan lain-lainnya. Bukankah dalam ajaran agama berkata  “dan wanita adalah penanggung jawab di dalam rumah suaminya , ia akan diminta pertanggung jawaban atas tugasnya.”  Maka dari itu kita tidak boleh menyalah artikan Emansipasi wanita dengan mengartikannya sebagai suatu kesetaraan yang benar benar suatu kebebasan 100% tapi kita harus mengartikannya dalam suatu pandangan positif tanpa melupakan kedudukan seorang pria. Di dalam Al Qu’an menyebutkan bahwa “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karenanya Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (Q.S An Nisa’ : 34)
Dan didalam ajaran agama lain pun juga mengatakan “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat…” (Efesus 5:22-23) serta (Amsal 31) “Istri yang bijaksana akan mementingkan kebutuhan rumah tangga terlebih dahulu, lebih dari keinginan atau ambisi dirinya sendiri”
Dari ajaran-ajaran tersebut dan ajaran kebudayaan , sudah jelas bahwa emansipasi wanita itu dapat berjalan dengan baik, apabila kaum wanita tetap berpegang teguh atas ajaran agama dan ajaran kebudayaan Indonesia yang telah dianutnya. Kaum wanita tetap bisa bebas dalam menentukan nasibnya dalam bermasyarakat. Tetapi hendaknya mereka tetap mengingat kodratnya sebagai wanita.
Adapun kiat-kiat agar pikiran, tanggapan dan presepsi kita tetap sejalan dengan emansipasi wanita yang ada di Indonesia. Pertama, bedakan antara kebebasan dalam artian  100% dan kebebasan emansipasi wanita yang sewajarnya. Dalam hal ini kebebasan 100 % ialah kebebasan yang benar-benar bebas. Kebebasan ini sama sekali tidak membedakan antara wanita dan laki-laki serta kebebasan ini mencangkup hal yang sangat bebas, individu yang dikatakan ‘bebas 100 %’ itu dapat mengenyampingkan tanggungjawabnya sebagai seorang individu karena dia bersifat bebas 100 %, individu yang menganut ajaran bebas 100% adalah individu yang bebas bergerak tanpa ada aturan-aturan lain yang mengikatnya. Sedangkan bebas dalam artian emansipasi wanita yang sewajarnya adalah dimana seorang individu itu dapat bebas melakukan sesuatu, yakni dalam belajar, berpendidikan dan menentukan nasibnya dalam masyarakat tanpa mengesampingkan tanggung jawab dan tugasnya. Dimana tanggungjawab tetap di kedepankan dan ambisi serta kemauan sendiri lebih dikesampingkan.
Yang kedua adalah memperkenalkan batasan – batasan suatu kebebasan dan hak mutlak yang harus di miliki wanita. Sehingga cara ini mampu menfilter kaum mudi (wanita) dari kebebasan tanpa arti, sekaligus menyelamatkan kaum mudi (wanita) dari pengaruh kebebasan 100 % (kebablasan). Dan yang ketiga adalah menamkan suatu prinsip bahwa wanita tidak akan pernah sama dengan pria. Kesadaran wanita akan kodrat, akan mampu mengurangi resiko sebuah persaingan tanpa batas antara pria dan wanita dalam memenuhi peran dan menjalankan berbagai aktivitas. Dan memang, sudah menjadi hukum alam bahwa peranan kaum perempuan tidak bisa disamakan dengan kaum pria.
Maka jadilah seorang wanita yang bermanfaat bagi kehidupan diri kita sendiri dan kehidupan masyarakat. Yang bisa menyeimbangkan antara kewajiban dan hak sebagai seorang wanita. Seperti halnya R.A. Kartini yang dapat menjadi sosok teladan bagi kaum mudi (kaum wanita) pada khususnya dan wanita Indonesia pada umumnya, dalam memperjuangkan hak-hak wanita di dalam kehidupan ini tanpa mengesampingkan kewajiban dan tugasnya sebagai wanita. Sehingga mampu berperan lebih banyak dan lebih bermanfaat bagi kehidupan. Sangatlah tepat ungkapan Anis Matta, Dalam buku “Biarlah Kuncupnya Mekar Menjadi Bunga”. Dalam artian, berikan kesempatan yang sama bagi wanita untuk belajar mengembangkan pengetahuan dan kemampuan.

                                                                                               

0 komentar:

Posting Komentar