Menjunjung Hak Wanita melalui Emansipasi Bahasa

Minggu, 16 Oktober 2011

Menjunjung Hak Wanita melalui Emansipasi Bahasa

Oleh: Dwi Wahyu Dyanita
Kelas: XG


Perjuangan Kartini yang dimulai pada abad ke-19 membuat Indonesia ‘ketinggalan’ dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Jika dibandingakan dengan wilayah di belahan dunia lain, di Eropa misalnya, pergerakan para feminis pada abad yang sama sudah membentuk suatu perkumpulan dan menyampaikan aspirasinya melalui demo-demo yang berisi atas persamaan hak dalam pekerjaan, ekonomi, sosial budaya, agama dan lain sebagainya. Mereka terbagi dari tiga gelombang, gelombang pertama pada abad ke-18 hingga abad ke-20. Sedangkan gelombang kedua terjadi pada tahun 1960-1980an. Gelombang terakhir terjadi pada awal tahun 1990an. Lain halnya di Amerika, pergerakan para feminis baru terlihat pada tahun 1966an yang dikenal dengan istilah Women’s Liberation atau Kebebasan Wanita. Walaupun Indonesia terlihat sangat tertinggal dengan dunia barat dalam hal emansipasi wanita, ada satu hal yang sulit diubah oleh dunia barat khususnya Inggris dan Amerika, yaitu Emansipasi Bahasa. Deskriminasi gender tidak dapat dihindari  dalam bahasa Inggris baik British maupun America. Bahasa Inggris sangat membeda-bedakan gender dan sering kali merendahkan posisi kaum wanita.

Emansipasi bahasa adalah salah satu tuntutan yang disampaikan oleh pergerakan para feminis di Eropa (Inggris) dan Amerika. Deskriminasi tersebut sudah terjadi sejak lama, sebagaimana bahasa itu sendiri digunakan. Bahasa Inggris merupakan kombinasi antara beberapa bahasa lokal yang dipakai oleh orang-orang Norwegia, Denmark, dan Anglo-Saxon dari abad ke-6 sampai 10. Lalu pada tahun 1066 dengan ditaklukkan Inggris oleh William the Conqueror, sang penakluk dari Normandia, Perancis Utara, maka bahasa Inggris dengan sangat intensif mulai dipengaruhi bahasa Latin dan bahasa Perancis. Dari seluruh kosakata bahasa Inggris modern, diperkirakan ±50% berasal dari bahasa Perancis dan Latin. Perkembangan bahasa Inggris terbagi menjadi tiga periode, yaitu, Bahasa Inggris Kuno atau bahasa Anglo-Saxon digunakan pada kisaran tahun 700 – 1066, Bahasa Inggris Tengahan digunakan antara 1066 – 1500, Bahasa Inggris Baru dimulai dari abad ke-16 hingga sekarang.

Deskriminasi terhadap kaum wanita pada bahasa Inggris biasanya menyangkut tentang deskriminasi gender pada penunjuk orang ketiga, perkerjaan, status perkawinan dan kata-kata yang merujuk pada sesuatu yang umum. Salah satu contoh deskriminasi gender terjadi pada kata ganti orang ketiga, yaitu “he” dan “she”. Kata ganti “he” digunakan untuk orang ketiga laki-laki dan juga kata ganti orang ketiga yang tidak diketahui/belum jelas kelaminnya. Contohnya adalah kata ganti orang ketiga pada kata “Tuhan”. Pada penerjemahan kitab-kitab agama, kata “he” sering digunakan untuk merujuk pada Tuhan. Selain itu,  jika seseorang ingin mengatakan kata “dia” yang belum diketahui kelaminnya, seringkali menggunakan kata “he”. Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan kata s/he atau she or he untuk merujuk pada orang ketiga yang belum diketahui jenis kelaminnya. Sedangkan ada yang lebih diterima dibanding s/he atau she or he, yaitu they. Penggunaan they pada objek orang ketiga tunggal memang dirasakan tidak benar secara gramatika. Tetapi menurut beberapa referensi Bahasa Inggris sejak abad pertengahan, penggunaan kata they dapat merujuk pada orang ketiga tunggal yang belum diketahui jenis kelaminnya. Umumnya pakar bahasa menyetujui penggunaan kata they, their, them untuk menyebut orang ketiga tunggal non-gender, tetapi sebagian yang lain masih menolaknya karena membingungkan pembaca.

Beberapa feminis pada tahun 1960an mengumumkan penuntutan digunakannya kata Herstory disamping kta History. Mereka memandang kata History tersusun atas kata His + Story, yang artinya Ceritanya (laki-laki). Padahal History diambil dari Bahasa Yunani historĂ­a yang berarti mempelajari atau mengetahi sesuatu dari penyelidikan. Anggapan para feminis tersebut benar-benar tidak berhubungan secara etimologis dengan kata ganti kepunyaan His. Akhirnya penggunaan Herstory benar-benar ditolak oleh publik.

Lain halnya dengan penyebutan anak pada Bahasa Inggris, yaitu anak laki-laki (son) dan anak perempuan (daughter). Jika seseorang bertanya kepada seseorang dan belum mengetahui jenis kelamin anak seseorang tersebut, dia akan berkata, “Where is your son?”, tidak masalah jika memang anak tersebut adalah anak laki-laki, tapi bayangkan jika anak tersebut sebenarnya perempuan. Anak perempuan tersebut akan merasa tersinggung. Penggunaan children atau child masih jarang digunakan, terutama bagi pengguna Bahasa Inggris Amerika. Tetapi kata non-gender tersebut dapat menjadi penyelesaian yang cukup memuaskan bagi semua pihak.
Deskriminasi lainnya terjadi pada penyebutan kata “human” yang artinya manusia, “mankind” yang artinya umat manusia dan “man” yang artinya manusia, kata-kata tersebut selalu merujuk pada kata ambigunya, yaitu “man” yang artinya pria. Ini benar-benar tidak berarti semua Man adalah pria. Salah satu kritik yang paling terkenal adalah, “ Some Man are Woman” yang berarti ambigu “Sebagian Pria adalah Wanita” yang seharusnya hanya diterjemahkan menjadi “Sebagian Manusia adalah Wanita”. Penggunaan kata Man memang sangat membingungkan dalam konteks bahasa Inggris. Beberapa ahli bahasa memutuskan untuk tetap memertahankan kata Man tanpa perujukan pada kaum pria saja. Sedangkan kata Human untuk merujuk pada semua orang.

Salah satu budaya yang melakat pada masyarakat Inggris dan Amerika adalah perubahan nama seorang istri secara resmi setelah menikah. Seorang istri umumnya mengganti nama belakangnya dengan nama belakang suaminya. Contoh, Farah Dreek menikah dengan Antonio McQueen, setelah menikah si istri harus mengganti namanya dengan Farah McQueen dengan menghilangkan nama belakangnya yang asli. Kebanyakan kritikus feminisme melawan hal ini karena dianggap sebagai sebuah deskriminasi. Secara historis, seorang wanita di Inggris akan menggunakan nama keluarga suami barunya (atau nama keluarga) setelah menikah, dan praktek ini masih umum pada hari ini Inggris maupun di negara-negara di mana bahasa Inggris diucapkan, termasuk Australia, Selandia Baru, Pakistan, Gibraltar, Kepulauan Falkland, Irlandia, India, Filipina, provinsi-provinsi berbahasa Inggris Kanada, dan Amerika Serikat. Ini tetap merupakan praktek yang paling umum di Amerika Serikat. Di Massachusetts, misalnya, sebuah penelitian oleh Harvard menemukan bahwa sekitar 87% dari wanita di perguruan tinggi yang menikah menikah mengambil nama suami mereka, persentase turun dari tahun 1975 lebih dari 95% tetapi meningkat kembali sekitar 80% pada tahun 1990. Penelitian yang sama menemukan wanita dengan gelar sarjana cenderung untuk mempertahankan nama belakang mereka, tetapi relatif terhadap mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. Sebagian wanita yang memiliki profesi telah diberikan akses lebih kecil untuk mengubah nama mereka, baik profesional maupun secara hukum. Wanita tersebut lebih jarang mengganti namanya ketika mereka telah memiliki pekerjakaan yang bereputasi dibandingankan dengan suaminya. Mengubah nama belakang istri menjadi nama belakang suami dipandang sebagi norma pada hari ini. Hal tersebut juga digunakan untuk memberi nama kepada anak-anak mereka. Feminis berasumsi hal ini sungguh memprihatinkan. Tetapi ada beberapa penyelesaian yang umumnya direkomendasikan atas masalah tersebut, yaitu tetap menggunakan nama kelahiran, menggabung kedua nama istri dan suami, atau menyampurkan kedua nama istri dan suami. Menggunakan nama kelahiran adalah tetap/tidak mengubah nama kelahirannya dengan nama belakang suaminya, hal ini sedikit digunakan karena dianggap menentang norma. Menggabung kedua nama istri dan suami adalah menggabungkan (umumnya menggunakan tanda strip/dash) nama belakang dari istri dan suami sehingga mereka mendapatkan porsi nama yang sama. Sebagai contoh, Hannah Kelly Watson menikah dengan Michael Errick. Maka nama mereka bisa menjadi Hannah Kelly Watson-Errick dan Michael Errick-Watson. Satu yang terakhir ada penyampuran nama antara istri dan suami. Penyampuran ini adalah menyampurkan nama belakang istri dan nama belakang suami sehingga membentuk nama baru. Sebagai contoh, William Fordamm menikah dengan Alexandra Smith, nama mereka bisa menjadi William Fordsmith dan Alexandra Fordsmith. Tetapi cara tersebut jarang digunakan karena akan mengacaukan nama kaluarga yang sudah ada.

Penggunaan Mrs dan Ms juga menjadi kontroversial. Gelar yang dulunya dianggap sebagi kehormatan ini sekarang dianggap sebagai penghinaan bagi sebagian kamu wanita. Kata Mrs (mistress) yang merujuk pada wanita yang sudah menikah, sedangkan Ms (miss) digunakan untuk wanita yang belum menikah. Padahal pria hanya memiliki satu gelar, yaitu Mr (mister). Para kritikus bertanya, “Mengapa tidak ada pembedaan bagi pria yang sudah menikah dan belum menikah?”. Disinilah mulai timbul kontra bagi pengguna gelar tersebut. Kritikus menganggap kebudayaan ini berasumsi pada pengangkatan derajat kaum wanita yang sudah menikah (dan pada sisi lain yang belum menikah dianggap rendah derajatnya). Walaupun demikian, kebanyakan kaum wanita tidak masalah dengan penggunaan Ms dan Mrs.

Penamaan terhadap pekerjaan bagi seorang perempuan juga menimbulkan ironi. Perdebatan antara kritikus yang kontra dan pro terhadap pembedaan nama profesi secara seksual telah berjalan sejak lama. Pihak yang pro mendukung adanya kata-kata seperti docter dan doctress, barman dan barmaid, steward dan stewardess, usher dan usherette, comedian dan comedienne, lord dan landlady, actor dan actresses dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut sering digunakan, terutama di Amerika. Sebagian dari kata-kata tersebut ditolak oleh ahli bahasa.Sedangkan yang kontra dengan pembedaan nama profesi secara seksual beranggapan bahwa beberapa nama pekerjaan kurang menyamakan derajat kaum wanita. Contohnya, kata fireman, bussinessman, chairman, mailman, barman, fisherman, craftman, dan lain-lain. Kata-kata tersebut selalu merujuk pada kata Man, yaitu pria. Disanalah letak ketidakadilan kepada kaum wanita. Bagaimanapun sebagian dari mereka itu adalah kaum wanita, dan mereka terpaksa menggunakan sebutan Man pada nama profesi mereka. Tetapi beberapa ahli bahasa mengubah kata-kata tersebut menjadi kata non-gender, sedangkan sebagian yang lain membuat kosakata baru untuk sebutan wanita. Contoh yang non-gender seperti, Fire Fighter, Bussiness Person, Chair Person, Mail Carrier, Craft Person dan lain sebagainya. Sedangkan sebagian ahli bahasa lain menggunakan kosa kata baru untuk menyebut kata-kata tersebut, contohnya, Bussinesswoman, Chairwoman, Barmaid, Craftwoman dan lain sebagainya. Tetapi penggunaan dari kata-kata tersebut sangat jarang ditemui karena dipandang sebagai kosa kata asing. Bagaimanapun yang terpenting adalah, kini telah tersedia persediaan kosakata baru yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip emansipasi wanita.

Bahasa Inggris kini dalam perkembangannya masih membenahi diri agar sesuai dengan pesan-pesan emansipasi wanita. Bahasa Inggris selama ini dipandang sebagai bahasa yang membeda-bedakan hak dan derajat kaum wanita dibanding kaum pria, bahkan oleh khalayak umum di berbagai negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris. Bagaimanapun ini adalah tugas kita bersama sebagai manusia yang berbahasa untuk menegakan emansipasi, walaupun emansipasi di dalam bahasa Inggris. Perjuangan atas emansipasi adalah tugas bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan. Meskipun, evolusi bahasa memerlukan waktu yang panjang, namun ini adalah tugas seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi keadilan.

0 komentar:

Posting Komentar