Menjunjung Hak
Wanita melalui Emansipasi Bahasa
Oleh: Dwi Wahyu
Dyanita
Kelas: XG
Kelas: XG
Perjuangan
Kartini yang dimulai pada abad ke-19 membuat Indonesia ‘ketinggalan’ dalam memperjuangkan
emansipasi wanita. Jika dibandingakan dengan wilayah di belahan dunia lain, di
Eropa misalnya, pergerakan para feminis pada abad yang sama sudah membentuk
suatu perkumpulan dan menyampaikan aspirasinya melalui demo-demo yang berisi
atas persamaan hak dalam pekerjaan, ekonomi, sosial budaya, agama dan lain
sebagainya. Mereka terbagi dari tiga gelombang, gelombang pertama pada abad
ke-18 hingga abad ke-20. Sedangkan gelombang kedua terjadi pada tahun
1960-1980an. Gelombang terakhir terjadi pada awal tahun 1990an. Lain halnya di
Amerika, pergerakan para feminis baru terlihat pada tahun 1966an yang dikenal
dengan istilah Women’s Liberation atau
Kebebasan Wanita. Walaupun Indonesia terlihat sangat tertinggal dengan dunia
barat dalam hal emansipasi wanita, ada satu hal yang sulit diubah oleh dunia
barat khususnya Inggris dan Amerika, yaitu Emansipasi Bahasa. Deskriminasi
gender tidak dapat dihindari dalam
bahasa Inggris baik British maupun America. Bahasa Inggris sangat
membeda-bedakan gender dan sering kali merendahkan posisi kaum wanita.
Emansipasi
bahasa adalah salah satu tuntutan yang disampaikan oleh pergerakan para feminis
di Eropa (Inggris) dan Amerika. Deskriminasi tersebut sudah terjadi sejak lama,
sebagaimana bahasa itu sendiri digunakan. Bahasa Inggris merupakan kombinasi
antara beberapa bahasa lokal yang dipakai oleh orang-orang Norwegia, Denmark,
dan Anglo-Saxon dari abad ke-6 sampai 10. Lalu pada tahun 1066 dengan
ditaklukkan Inggris oleh William the Conqueror, sang penakluk dari Normandia,
Perancis Utara, maka bahasa Inggris dengan sangat intensif mulai dipengaruhi
bahasa Latin dan bahasa Perancis. Dari seluruh kosakata bahasa Inggris modern,
diperkirakan ±50% berasal dari bahasa Perancis dan Latin. Perkembangan bahasa
Inggris terbagi menjadi tiga periode, yaitu, Bahasa Inggris Kuno atau bahasa
Anglo-Saxon digunakan pada kisaran tahun 700 – 1066, Bahasa Inggris Tengahan
digunakan antara 1066 – 1500, Bahasa Inggris Baru dimulai dari abad ke-16
hingga sekarang.
Deskriminasi
terhadap kaum wanita pada bahasa Inggris biasanya menyangkut tentang deskriminasi
gender pada penunjuk orang ketiga, perkerjaan, status perkawinan dan kata-kata
yang merujuk pada sesuatu yang umum. Salah satu contoh deskriminasi gender
terjadi pada kata ganti orang ketiga, yaitu “he” dan “she”. Kata ganti “he” digunakan
untuk orang ketiga laki-laki dan juga kata ganti orang ketiga yang tidak
diketahui/belum jelas kelaminnya. Contohnya adalah kata ganti orang ketiga pada
kata “Tuhan”. Pada penerjemahan kitab-kitab agama, kata “he” sering digunakan
untuk merujuk pada Tuhan. Selain itu, jika
seseorang ingin mengatakan kata “dia” yang belum diketahui kelaminnya,
seringkali menggunakan kata “he”. Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan
kata s/he atau she or he untuk merujuk pada orang ketiga yang belum diketahui
jenis kelaminnya. Sedangkan ada yang lebih diterima dibanding s/he atau she or he, yaitu they.
Penggunaan they pada objek orang ketiga tunggal memang dirasakan tidak benar
secara gramatika. Tetapi menurut beberapa referensi Bahasa Inggris sejak abad
pertengahan, penggunaan kata they
dapat merujuk pada orang ketiga tunggal yang belum diketahui jenis kelaminnya.
Umumnya pakar bahasa menyetujui penggunaan kata they, their, them untuk menyebut orang ketiga tunggal non-gender,
tetapi sebagian yang lain masih menolaknya karena membingungkan pembaca.
Beberapa
feminis pada tahun 1960an mengumumkan penuntutan digunakannya kata Herstory disamping kta History. Mereka memandang kata History tersusun atas kata His + Story, yang artinya Ceritanya
(laki-laki). Padahal History diambil dari Bahasa Yunani historĂa yang berarti mempelajari atau mengetahi
sesuatu dari penyelidikan. Anggapan para feminis tersebut benar-benar tidak
berhubungan secara etimologis dengan kata ganti kepunyaan His. Akhirnya
penggunaan Herstory benar-benar ditolak oleh publik.
Lain
halnya dengan penyebutan anak pada Bahasa Inggris, yaitu anak laki-laki (son) dan anak perempuan (daughter). Jika seseorang bertanya
kepada seseorang dan belum mengetahui jenis kelamin anak seseorang tersebut,
dia akan berkata, “Where is your son?”,
tidak masalah jika memang anak tersebut adalah anak laki-laki, tapi bayangkan
jika anak tersebut sebenarnya perempuan. Anak perempuan tersebut akan merasa
tersinggung. Penggunaan children atau
child masih jarang digunakan,
terutama bagi pengguna Bahasa Inggris Amerika. Tetapi kata non-gender tersebut
dapat menjadi penyelesaian yang cukup memuaskan bagi semua pihak.
Deskriminasi
lainnya terjadi pada penyebutan kata “human” yang artinya manusia, “mankind” yang
artinya umat manusia dan “man” yang artinya manusia, kata-kata tersebut selalu
merujuk pada kata ambigunya, yaitu “man” yang artinya pria. Ini benar-benar
tidak berarti semua Man adalah pria. Salah
satu kritik yang paling terkenal adalah, “ Some
Man are Woman” yang berarti
ambigu “Sebagian Pria adalah Wanita” yang
seharusnya hanya diterjemahkan menjadi “Sebagian
Manusia adalah Wanita”. Penggunaan kata Man
memang sangat membingungkan dalam konteks bahasa Inggris. Beberapa ahli bahasa
memutuskan untuk tetap memertahankan kata Man
tanpa perujukan pada kaum pria saja. Sedangkan kata Human untuk merujuk pada semua orang.
Salah
satu budaya yang melakat pada masyarakat Inggris dan Amerika adalah perubahan
nama seorang istri secara resmi setelah menikah. Seorang istri umumnya
mengganti nama belakangnya dengan nama belakang suaminya. Contoh, Farah Dreek
menikah dengan Antonio McQueen, setelah menikah si istri harus mengganti
namanya dengan Farah McQueen dengan menghilangkan nama belakangnya yang asli.
Kebanyakan kritikus feminisme melawan hal ini karena dianggap sebagai sebuah
deskriminasi. Secara historis, seorang
wanita di Inggris
akan menggunakan nama
keluarga suami barunya (atau nama keluarga) setelah
menikah, dan praktek
ini masih umum pada hari ini Inggris
maupun di negara-negara di mana bahasa Inggris diucapkan,
termasuk Australia, Selandia Baru,
Pakistan, Gibraltar, Kepulauan Falkland, Irlandia, India, Filipina, provinsi-provinsi
berbahasa Inggris Kanada, dan Amerika Serikat.
Ini tetap merupakan praktek yang paling umum
di Amerika Serikat. Di Massachusetts, misalnya, sebuah penelitian oleh
Harvard menemukan bahwa sekitar 87%
dari wanita di perguruan tinggi yang
menikah menikah mengambil nama suami mereka,
persentase turun dari tahun 1975 lebih dari 95%
tetapi meningkat kembali sekitar 80% pada tahun 1990.
Penelitian yang sama menemukan wanita dengan
gelar sarjana cenderung untuk mempertahankan nama belakang mereka, tetapi relatif terhadap mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. Sebagian wanita yang memiliki profesi telah diberikan akses lebih
kecil untuk mengubah nama mereka,
baik profesional maupun
secara hukum. Wanita tersebut lebih
jarang mengganti namanya ketika mereka telah memiliki pekerjakaan yang bereputasi
dibandingankan dengan suaminya. Mengubah nama belakang istri menjadi nama
belakang suami dipandang sebagi norma pada hari ini. Hal tersebut juga
digunakan untuk memberi nama kepada anak-anak mereka. Feminis berasumsi hal ini
sungguh memprihatinkan. Tetapi ada beberapa penyelesaian yang umumnya
direkomendasikan atas masalah tersebut, yaitu tetap menggunakan nama kelahiran,
menggabung kedua nama istri dan suami, atau menyampurkan kedua nama istri dan
suami. Menggunakan nama kelahiran adalah tetap/tidak mengubah nama kelahirannya
dengan nama belakang suaminya, hal ini sedikit digunakan karena dianggap
menentang norma. Menggabung kedua nama istri dan suami adalah menggabungkan
(umumnya menggunakan tanda strip/dash) nama belakang dari istri dan suami
sehingga mereka mendapatkan porsi nama yang sama. Sebagai contoh, Hannah Kelly
Watson menikah dengan Michael Errick. Maka nama mereka bisa menjadi Hannah
Kelly Watson-Errick dan Michael Errick-Watson. Satu yang terakhir ada
penyampuran nama antara istri dan suami. Penyampuran ini adalah menyampurkan
nama belakang istri dan nama belakang suami sehingga membentuk nama baru. Sebagai
contoh, William Fordamm menikah dengan Alexandra Smith, nama mereka bisa
menjadi William Fordsmith dan Alexandra Fordsmith. Tetapi cara tersebut jarang
digunakan karena akan mengacaukan nama kaluarga yang sudah ada.
Penggunaan
Mrs dan Ms juga menjadi kontroversial. Gelar yang dulunya dianggap sebagi
kehormatan ini sekarang dianggap sebagai penghinaan bagi sebagian kamu wanita. Kata
Mrs (mistress) yang merujuk pada wanita yang sudah menikah, sedangkan Ms (miss)
digunakan untuk wanita yang belum menikah. Padahal pria hanya memiliki satu
gelar, yaitu Mr (mister). Para kritikus bertanya, “Mengapa tidak ada pembedaan bagi
pria yang sudah menikah dan belum menikah?”. Disinilah mulai timbul kontra bagi
pengguna gelar tersebut. Kritikus menganggap kebudayaan ini berasumsi pada
pengangkatan derajat kaum wanita yang sudah menikah (dan pada sisi lain yang
belum menikah dianggap rendah derajatnya). Walaupun demikian, kebanyakan kaum
wanita tidak masalah dengan penggunaan Ms
dan Mrs.
Penamaan
terhadap pekerjaan bagi seorang perempuan juga menimbulkan ironi. Perdebatan
antara kritikus yang kontra dan pro terhadap pembedaan nama profesi secara
seksual telah berjalan sejak lama. Pihak yang pro mendukung adanya kata-kata
seperti docter dan doctress, barman dan barmaid, steward dan stewardess, usher dan usherette, comedian dan comedienne, lord dan landlady, actor dan actresses dan lain sebagainya. Kata-kata
tersebut sering digunakan, terutama di Amerika. Sebagian dari kata-kata
tersebut ditolak oleh ahli bahasa.Sedangkan yang kontra dengan pembedaan nama
profesi secara seksual beranggapan bahwa beberapa nama pekerjaan kurang menyamakan
derajat kaum wanita. Contohnya, kata fireman,
bussinessman, chairman, mailman, barman, fisherman, craftman, dan
lain-lain. Kata-kata tersebut selalu merujuk pada kata Man, yaitu pria. Disanalah letak ketidakadilan kepada kaum wanita.
Bagaimanapun sebagian dari mereka itu adalah kaum wanita, dan mereka terpaksa
menggunakan sebutan Man pada nama
profesi mereka. Tetapi beberapa ahli bahasa mengubah kata-kata tersebut menjadi
kata non-gender, sedangkan sebagian yang lain membuat kosakata baru untuk
sebutan wanita. Contoh yang non-gender seperti, Fire Fighter, Bussiness Person, Chair Person, Mail Carrier, Craft
Person dan lain sebagainya. Sedangkan sebagian ahli bahasa lain menggunakan
kosa kata baru untuk menyebut kata-kata tersebut, contohnya, Bussinesswoman, Chairwoman, Barmaid,
Craftwoman dan lain sebagainya. Tetapi penggunaan dari kata-kata tersebut
sangat jarang ditemui karena dipandang sebagai kosa kata asing. Bagaimanapun
yang terpenting adalah, kini telah tersedia persediaan kosakata baru yang lebih
sesuai dengan prinsip-prinsip emansipasi wanita.
Bahasa
Inggris kini dalam perkembangannya masih membenahi diri agar sesuai dengan
pesan-pesan emansipasi wanita. Bahasa Inggris selama ini dipandang sebagai bahasa
yang membeda-bedakan hak dan derajat kaum wanita dibanding kaum pria, bahkan
oleh khalayak umum di berbagai negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris. Bagaimanapun
ini adalah tugas kita bersama sebagai manusia yang berbahasa untuk menegakan
emansipasi, walaupun emansipasi di dalam bahasa Inggris. Perjuangan atas
emansipasi adalah tugas bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan. Meskipun,
evolusi bahasa memerlukan waktu yang panjang, namun ini adalah tugas seluruh
umat manusia untuk menjunjung tinggi keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar