GELIAT EMANSIPASI DALAM
PERKEMBANGAN ZAMAN
Oleh: Halida An Nabila (XG)
Aku ingin dan aku harus berperang untuk kemerdekaanku.
Bagaimana aku bisa meraih kemenangan jika aku tidak berjuang? Bagaimana aku
akan menemukannya jika aku tidak berusaha mencari? Tanpa perjuangan tidak akan
ada kemenangan; aku harus berjuang Stella, aku hendak menggapai kemerdekaanku.
Demikian surat yang ditulis
Kartini kepada Stella Zehandelaar menuturkan cita – cita mulianya. Untuk merdeka
dari ketertinggalan. Bebas dari budaya feodal yang telah memerangkap kaum
wanita dalam waktu yang lama. Serta menghapus ketimpangan gender yang bercokol
di masyarakat. Sama halnya dengan pahlawan pembangkit emansipasi lainnya,
Kartini ingin membuktikan bahwa kaum hawa bukanlah kaum wingking (belakang) yang hanya bisa pasrah saat hak – haknya
terpasung. Hal ini tercerminkan pada target perjuangannya. Salah satunya yaitu zelfwerkzaamheid yang berarti kemandirian dan motivasi diri. Kartini
ingin wanita dianggap sebagai individu yang mampu membangun kepercayaan diri
untuk bangkit dan memperjuangkan hak – haknya yang belum terbayar. Dia ingin
wanita dianggap sebagai makhluk yang bisa berdiri tegak atas kemampuan sendiri.
Keinginan semacam ini tak hanya tumbuh dalam benak Kartini. Tokoh emansipasi
wanita sebelum Kartini pun telah banyak bermunculan. Sebut saja Sri Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Ratu
Kerajaan Aceh Darussalam. Jika Kartini berjuang melalui pemikiran –
pemikirannya yang menggugah serta menjadi pengajar di kediamannya, Sri Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam berjihad di hutan belantara untuk memerangi kaum
kafirin. Keduanya sama – sama pejuang yang gigih. Hanya saja Sri Sultanah
mengimplementasikan spirit emansipasinya dalam peperangan dan tantangan dalam
memimpin sebuah kerajaan. Kita juga mengenal Cut Meutia yang telah memimpin
perang gerilya di belukar hutan Pase selama 20 tahun. Selain itu, dari seluruh
daerah di tanah air, hanya pakaian tradisional perempuan asal Aceh yang berupa
celana. Ini dikarenakan partispasi mereka yang tinggi di medan perang. Mereka
membawa perbekalan dan berjaga di garis belakang untuk mengobati yang luka. Tak
jarang pula mereka harus menggenggam senjata sebagai prajurit perang. Kira –
kira, gambaran semacam itulah yang diberikan sejarah mengenai pergulatan
panjang untuk menegakkan emansipasi. Dengan semangat yang tinggi, para tokoh
emansipasi berhasil membuktikan bahwa pria dan wanita adalah makhluk yang
sederajat. Mereka menunjukkan bahwa wanita juga dapat berkontribusi layaknya
pria. Dan pada akhirnya dapat membuat kesenjangan gender berkurang. Pada
separuh akhir abad ke-20 dapat disaksikan adanya peningkatan dalam status
perempuan dan kesetaraan gender di sebagian besar negara berkembang. Secara
umum, tingkat pendidikan perempuan meningkat secara pesat. Rata-rata jumlah
anak perempuan yang mendaftar ke sekolah dasar di Asia Tenggara, Sub-Sahara
Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat kurang lebih dua kali lipat.
Hal ini, secara signifikan, mengurangi kesenjangan gender dalam dunia
pendidikan. Harapan hidup perempuan meningkat 15 sampai 20 tahun di negara berkembang.
Sementara itu, melalui peningkatan anggaran yang lebih besar bagi anak - anak maupun
perempuan dewasa, serta akses yang lebih baik dalam perawatan kesehatan, maka
pola harapan hidup bagi perempuan dan laki-laki telah meningkat di semua
kawasan negara berkembang. Untuk pertama kalinya, dalam periode 1990-an,
perempuan di Asia Selatan rata-rata hidup lebih lama daripada laki-laki. Selain
itu, terdapat lebih banyak perempuan yang masuk dalam angkatan kerja daripada
sebelumnya. Sejak 1970, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah
meningkat ratarata 15 persen di Asia Timur dan Amerika Latin. Pertumbuhan angkatan
kerja ini lebih besar daripada yang terjadi pada laki-laki, sehingga
memperkecil kesenjangan gender dalam pekerjaan.
Ironisnya,
walaupun terdapat kemajuan, diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada
seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat
bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara
dunia ketiga (termasuk Indonesia) di mana perempuan telah menikmati kesetaraan
dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan
dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik masih
terjadi di mana-mana. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan
tanah, mengelola properti, berbisnis, bahkan melakukan perjalanan tanpa
persetujuan suami. Di banyak kawasan Sub-Sahara Afrika, sebagian besar
perempuan memperoleh hak atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan,
dan seringkali hak-hak ini hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang
suami. Ketidaksetaraan gender ini terjadi karena berbagai faktor. Misalnya, perempuan
masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk
pendidikan, tanah, informasi, dan keuangan. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah
jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan
laki-laki, dan jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah hanya
dua pertiga dari jumlah anak laki - laki. Banyak perempuan tidak memiliki
tanah, dan meski mereka memilikinya, status kepemilikannya lebih lemah daripada
laki-laki. Di banyak negara berkembang, wirausaha yang dikelola oleh perempuan
cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk,
informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki. Di
negara-negara berkembang, perempuan seringkali dibatasi jenis pekerjaannya dan
biasanya tidak ditempatkan pada posisi-posisi manajemen di sektor formal. Di
negara-negara industri, perempuan di sektor kerja upahan berpenghasilan
rata-rata 77 persen dari penghasilan laki-laki di sektor yang sama; sementara
itu di negara-negara berkembang rata-rata berkisar 73 persen. Dan di bidang
aspirasi, perempuan tetap kurang terwakili baik dalam dewan perwakilan lokal
maupun nasional. Jumlah wakil perempuan di dewan perwakilan atau parlemen
rata-rata kurang dari 10 persen atas jumlah kursi dewan yang ada (kecuali di
Asia Selatan di mana rata-ratanya 18-19 persen). Tidak ada satu pun negara
berkembang di mana perempuan menempati lebih dari 8 persen dalam posisi-posisi
kementerian. Bahkan, sejak tahun 1970-an di banyak negara tidak terjadi
kemajuan yang berarti. Di Eropa Timur, jumlah wakil perempuan di parlemen
menurun dari 25 menjadi 7 persen sejak awal transisi politik dan ekonomi. Kasus
– kasus tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya, masalah emansipasi begitu
kompleks dan belum sepenuhnya terselesaikan oleh perjuangan tokoh emansipasi di
masa lampau.
Padahal, rasio seks pada tahun
2011 menunjukkan bahwa sebesar 49,75% penduduk dunia adalah perempuan. Dan ini
berarti, wanita memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangan zaman. Wanita
dapat membawa dampak terhadap pembangunan karena saat ini, posisinya bukan lagi
sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek. Karena itu, semakin
timpang keseimbangan gender, maka dampak buruk yang terjadi akan semakin besar.
Hal yang paling merugikan
dari ketidaksetaraan gender adalah menurunnya kualitas kehidupan. Sulit untuk
mengidentifikasi dan mengukur seluruh kerugian ini, namun banyak bukti dari
banyak negara di dunia yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan ketidaksetaraan
gender mengalami banyak persoalan kemiskinan, kekurangan gizi, berbagai
penyakit, dan banyak kerugian lainnya. Tingkat buta huruf dan keterbatasan
jenjang pendidikan ibu secara langsung merugikan anak-anak. Jenjang pendidikan
yang rendah berakibat pada kualitas perawatan anak yang buruk dan juga angka kematian
bayi dan kurang gizi yang lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seorang ibu, semakin besar kemungkinannya menyesuaikan diri dengan standar
kesehatan, misalnya memberikan imunisasi kepada anaknya. Sebagaimana halnya
jenjang pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi juga erat
terkait dengan angka kelangsungan hidup anak dan gizi yang lebih baik.
Penghasilan tambahan oleh perempuan dalam rumah tangga cenderung berpengaruh
lebih besar dibandingkan penghasilan tambahan oleh laki-laki, seperti yang
diperlihatkan hasil penelitian di Bangladesh, Brazil, dan Pantai Gading. Investasi
yang rendah untuk pendidikan perempuan juga menurunkan tingkat pendapatan suatu
negara. Sebuah penelitian memperkirakan jika negara-negara di Asia Selatan,
Sub-Sahara Afrika, Timur Tengah, dan Afrika Utara telah mulai mengatasi
kesenjangan gender dalam bidang pendidikan seperti yang telah dilakukan di Asia
Timur tahun 1960 dan menurunkan kesenjangan sampai ke tingkat yang telah dicapai
Asia Timur dari tahun 1960 hingga 1992, maka pendapatan per kapita mereka
seharusnya dapat tumbuh lebih cepat 0,5 sampai dengan 0,9 persen setiap tahun. Jika
ditinjau dari sisi lain, perempuan yang berbisnis memiliki kemungkinan lebih
kecil untuk membayar suap kepada pejabat pemerintah. Hal itu mungkin karena
perempuan memiliki standar tingkah laku etika atau lebih banyak menghindari
risiko yang lebih tinggi. Sebuah penelitian terhadap 350 perusahaan di republik
Georgia menyimpulkan bahwa perusahaan yang dimiliki dan dikelola laki-laki 10
persen lebih besar kemungkinannya terlibat dalam praktek suap terhadap pejabat
pemerintah daripada yang dimiliki atau dikelola perempuan. Hasil penelitan ini
tetap berlaku tanpa terpengaruh oleh karakteristik perusahaaan, seperti
misalnya pada sektor apa perusahaan beroperasi dan besar-kecilnya perusahaan,
maupun oleh karakteristik pemilik atau manajer, misalnya tingkat pendidikan.
Tanpa mengendalikan faktor-faktor ini, perusahaan yang dikelola laki-laki dua
kali lebih besar kemungkinannya melakukan penyuapan. Dari berbagai penelitian
yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya wanita memiliki
potensi yang besar dalam pembangunan. Terdapat beberapa ruang kosong dalam
pembangunan yang bisa diisi oleh partisipasi dari kaum wanita. Ada begitu
banyak dampak mengerikan yang ditimbulkan bila emansipasi tidak diperjuangkan,
dan sebaliknya, banyak sekali kebaikan yang dapat dihasilkan dari kesetaraan
gender. Bayangkan, apabila kaum wanita terus – menerus terkungkung dalam
kesenjangan gender dan tidak bersegera bangkit untuk memeranginya, pembangunan
dan perkembangan zaman akan terhambat.
Karena itulah, saat ini diperlukan usaha
untuk melanjutkan perjuangan emansipasi. Emansipasi bukanlah sekedar sesuatu
yang dapat diperjuangkan dalam waktu singkat. Emansipasi merupakan perhelatan
tak kenal lelah yang membutuhkan kontinuitas, sehingga tidak akan pudar seiring
perkembangan zaman. Sayangnya, kesenjangan sosial justru diperparah dengan
minimnya animo dan partisipasi perempuan untuk terlibat aktif dalam
memperjuangkan haknya sendiri. Sudah saatnya kita sadar bahwa kedudukan manusia
adalah sama. Setiap manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan,
kebebasan berpendapat, kebebasan dari rasa takut, dan perlindungan dari negara.
Setiap manusia, tidak peduli jenis kelaminnya, adalah makhluk yang seharusnya
bisa saling melengkapi. Arti sesungguhnya dari emansipasi, bukanlah melulu
kemerdekaan wanita untuk sejajar dengan pria yang dianut kelompok feminisme.
Makna sesungguhnya adalah saat seluruh manusia menyadari bahwa laki – laki dan
perempuan memiliki kontribusi yang sama dalam kehidupan. Serta keunggulan dan
kelemahan dan masing – masing. Dan karena itu, manusia harus saling melengkapi,
saling merangkul dan bahu – membahu untuk meneruskan pembangunan sebagai upaya
meningkatkan perkembangan zaman. Karena tanpa kesetimbangan gender, akan
terjadi ketimpangan yang merugikan kehidupan umat manusia. Maka, tugas manusia
saat ini adalah melanggengkan emansipasi wanita demi majunya perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Tim Pelapor World Bank Publications. 2000. Pembangunan Berperspektif Gender. Herndon : World Bank Publications
Harian Sore Surabaya
Post. 24 April, 2011. Wanita – Wanita dalam Geliat Emansipasi, hlm. 20.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_sex_ratio
0 komentar:
Posting Komentar