GELIAT EMANSIPASI DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN

Minggu, 16 Oktober 2011

GELIAT EMANSIPASI DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN
Oleh: Halida An Nabila (XG)

            Aku ingin dan aku harus berperang untuk kemerdekaanku. Bagaimana aku bisa meraih kemenangan jika aku tidak berjuang? Bagaimana aku akan menemukannya jika aku tidak berusaha mencari? Tanpa perjuangan tidak akan ada kemenangan; aku harus berjuang Stella, aku hendak menggapai kemerdekaanku.
            Demikian surat yang ditulis Kartini kepada Stella Zehandelaar menuturkan cita – cita mulianya. Untuk merdeka dari ketertinggalan. Bebas dari budaya feodal yang telah memerangkap kaum wanita dalam waktu yang lama. Serta menghapus ketimpangan gender yang bercokol di masyarakat. Sama halnya dengan pahlawan pembangkit emansipasi lainnya, Kartini ingin membuktikan bahwa kaum hawa bukanlah kaum wingking (belakang) yang hanya bisa pasrah saat hak – haknya terpasung. Hal ini tercerminkan pada target perjuangannya. Salah satunya yaitu zelfwerkzaamheid yang berarti kemandirian dan motivasi diri. Kartini ingin wanita dianggap sebagai individu yang mampu membangun kepercayaan diri untuk bangkit dan memperjuangkan hak – haknya yang belum terbayar. Dia ingin wanita dianggap sebagai makhluk yang bisa berdiri tegak atas kemampuan sendiri. Keinginan semacam ini tak hanya tumbuh dalam benak Kartini. Tokoh emansipasi wanita sebelum Kartini pun telah banyak bermunculan. Sebut saja Sri Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Jika Kartini berjuang melalui pemikiran – pemikirannya yang menggugah serta menjadi pengajar di kediamannya, Sri Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berjihad di hutan belantara untuk memerangi kaum kafirin. Keduanya sama – sama pejuang yang gigih. Hanya saja Sri Sultanah mengimplementasikan spirit emansipasinya dalam peperangan dan tantangan dalam memimpin sebuah kerajaan. Kita juga mengenal Cut Meutia yang telah memimpin perang gerilya di belukar hutan Pase selama 20 tahun. Selain itu, dari seluruh daerah di tanah air, hanya pakaian tradisional perempuan asal Aceh yang berupa celana. Ini dikarenakan partispasi mereka yang tinggi di medan perang. Mereka membawa perbekalan dan berjaga di garis belakang untuk mengobati yang luka. Tak jarang pula mereka harus menggenggam senjata sebagai prajurit perang. Kira – kira, gambaran semacam itulah yang diberikan sejarah mengenai pergulatan panjang untuk menegakkan emansipasi. Dengan semangat yang tinggi, para tokoh emansipasi berhasil membuktikan bahwa pria dan wanita adalah makhluk yang sederajat. Mereka menunjukkan bahwa wanita juga dapat berkontribusi layaknya pria. Dan pada akhirnya dapat membuat kesenjangan gender berkurang. Pada separuh akhir abad ke-20 dapat disaksikan adanya peningkatan dalam status perempuan dan kesetaraan gender di sebagian besar negara berkembang. Secara umum, tingkat pendidikan perempuan meningkat secara pesat. Rata-rata jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah dasar di Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat kurang lebih dua kali lipat. Hal ini, secara signifikan, mengurangi kesenjangan gender dalam dunia pendidikan. Harapan hidup perempuan meningkat 15 sampai 20 tahun di negara berkembang. Sementara itu, melalui peningkatan anggaran yang lebih besar bagi anak - anak maupun perempuan dewasa, serta akses yang lebih baik dalam perawatan kesehatan, maka pola harapan hidup bagi perempuan dan laki-laki telah meningkat di semua kawasan negara berkembang. Untuk pertama kalinya, dalam periode 1990-an, perempuan di Asia Selatan rata-rata hidup lebih lama daripada laki-laki. Selain itu, terdapat lebih banyak perempuan yang masuk dalam angkatan kerja daripada sebelumnya. Sejak 1970, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah meningkat ratarata 15 persen di Asia Timur dan Amerika Latin. Pertumbuhan angkatan kerja ini lebih besar daripada yang terjadi pada laki-laki, sehingga memperkecil kesenjangan gender dalam pekerjaan.
            Ironisnya, walaupun terdapat kemajuan, diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik masih terjadi di mana-mana. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, berbisnis, bahkan melakukan perjalanan tanpa persetujuan suami. Di banyak kawasan Sub-Sahara Afrika, sebagian besar perempuan memperoleh hak atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan, dan seringkali hak-hak ini hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Ketidaksetaraan gender ini terjadi karena berbagai faktor. Misalnya, perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk pendidikan, tanah, informasi, dan keuangan. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki, dan jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah hanya dua pertiga dari jumlah anak laki - laki. Banyak perempuan tidak memiliki tanah, dan meski mereka memilikinya, status kepemilikannya lebih lemah daripada laki-laki. Di banyak negara berkembang, wirausaha yang dikelola oleh perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki. Di negara-negara berkembang, perempuan seringkali dibatasi jenis pekerjaannya dan biasanya tidak ditempatkan pada posisi-posisi manajemen di sektor formal. Di negara-negara industri, perempuan di sektor kerja upahan berpenghasilan rata-rata 77 persen dari penghasilan laki-laki di sektor yang sama; sementara itu di negara-negara berkembang rata-rata berkisar 73 persen. Dan di bidang aspirasi, perempuan tetap kurang terwakili baik dalam dewan perwakilan lokal maupun nasional. Jumlah wakil perempuan di dewan perwakilan atau parlemen rata-rata kurang dari 10 persen atas jumlah kursi dewan yang ada (kecuali di Asia Selatan di mana rata-ratanya 18-19 persen). Tidak ada satu pun negara berkembang di mana perempuan menempati lebih dari 8 persen dalam posisi-posisi kementerian. Bahkan, sejak tahun 1970-an di banyak negara tidak terjadi kemajuan yang berarti. Di Eropa Timur, jumlah wakil perempuan di parlemen menurun dari 25 menjadi 7 persen sejak awal transisi politik dan ekonomi. Kasus – kasus tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya, masalah emansipasi begitu kompleks dan belum sepenuhnya terselesaikan oleh perjuangan tokoh emansipasi di masa lampau.
Padahal, rasio seks pada tahun 2011 menunjukkan bahwa sebesar 49,75% penduduk dunia adalah perempuan. Dan ini berarti, wanita memiliki sumbangsih yang besar terhadap perkembangan zaman. Wanita dapat membawa dampak terhadap pembangunan karena saat ini, posisinya bukan lagi sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek. Karena itu, semakin timpang keseimbangan gender, maka dampak buruk yang terjadi akan semakin besar. Hal yang paling merugikan dari ketidaksetaraan gender adalah menurunnya kualitas kehidupan. Sulit untuk mengidentifikasi dan mengukur seluruh kerugian ini, namun banyak bukti dari banyak negara di dunia yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan ketidaksetaraan gender mengalami banyak persoalan kemiskinan, kekurangan gizi, berbagai penyakit, dan banyak kerugian lainnya. Tingkat buta huruf dan keterbatasan jenjang pendidikan ibu secara langsung merugikan anak-anak. Jenjang pendidikan yang rendah berakibat pada kualitas perawatan anak yang buruk dan juga angka kematian bayi dan kurang gizi yang lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ibu, semakin besar kemungkinannya menyesuaikan diri dengan standar kesehatan, misalnya memberikan imunisasi kepada anaknya. Sebagaimana halnya jenjang pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi juga erat terkait dengan angka kelangsungan hidup anak dan gizi yang lebih baik. Penghasilan tambahan oleh perempuan dalam rumah tangga cenderung berpengaruh lebih besar dibandingkan penghasilan tambahan oleh laki-laki, seperti yang diperlihatkan hasil penelitian di Bangladesh, Brazil, dan Pantai Gading. Investasi yang rendah untuk pendidikan perempuan juga menurunkan tingkat pendapatan suatu negara. Sebuah penelitian memperkirakan jika negara-negara di Asia Selatan, Sub-Sahara Afrika, Timur Tengah, dan Afrika Utara telah mulai mengatasi kesenjangan gender dalam bidang pendidikan seperti yang telah dilakukan di Asia Timur tahun 1960 dan menurunkan kesenjangan sampai ke tingkat yang telah dicapai Asia Timur dari tahun 1960 hingga 1992, maka pendapatan per kapita mereka seharusnya dapat tumbuh lebih cepat 0,5 sampai dengan 0,9 persen setiap tahun. Jika ditinjau dari sisi lain, perempuan yang berbisnis memiliki kemungkinan lebih kecil untuk membayar suap kepada pejabat pemerintah. Hal itu mungkin karena perempuan memiliki standar tingkah laku etika atau lebih banyak menghindari risiko yang lebih tinggi. Sebuah penelitian terhadap 350 perusahaan di republik Georgia menyimpulkan bahwa perusahaan yang dimiliki dan dikelola laki-laki 10 persen lebih besar kemungkinannya terlibat dalam praktek suap terhadap pejabat pemerintah daripada yang dimiliki atau dikelola perempuan. Hasil penelitan ini tetap berlaku tanpa terpengaruh oleh karakteristik perusahaaan, seperti misalnya pada sektor apa perusahaan beroperasi dan besar-kecilnya perusahaan, maupun oleh karakteristik pemilik atau manajer, misalnya tingkat pendidikan. Tanpa mengendalikan faktor-faktor ini, perusahaan yang dikelola laki-laki dua kali lebih besar kemungkinannya melakukan penyuapan. Dari berbagai penelitian yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya wanita memiliki potensi yang besar dalam pembangunan. Terdapat beberapa ruang kosong dalam pembangunan yang bisa diisi oleh partisipasi dari kaum wanita. Ada begitu banyak dampak mengerikan yang ditimbulkan bila emansipasi tidak diperjuangkan, dan sebaliknya, banyak sekali kebaikan yang dapat dihasilkan dari kesetaraan gender. Bayangkan, apabila kaum wanita terus – menerus terkungkung dalam kesenjangan gender dan tidak bersegera bangkit untuk memeranginya, pembangunan dan perkembangan zaman akan terhambat.
            Karena itulah, saat ini diperlukan usaha untuk melanjutkan perjuangan emansipasi. Emansipasi bukanlah sekedar sesuatu yang dapat diperjuangkan dalam waktu singkat. Emansipasi merupakan perhelatan tak kenal lelah yang membutuhkan kontinuitas, sehingga tidak akan pudar seiring perkembangan zaman. Sayangnya, kesenjangan sosial justru diperparah dengan minimnya animo dan partisipasi perempuan untuk terlibat aktif dalam memperjuangkan haknya sendiri. Sudah saatnya kita sadar bahwa kedudukan manusia adalah sama. Setiap manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari rasa takut, dan perlindungan dari negara. Setiap manusia, tidak peduli jenis kelaminnya, adalah makhluk yang seharusnya bisa saling melengkapi. Arti sesungguhnya dari emansipasi, bukanlah melulu kemerdekaan wanita untuk sejajar dengan pria yang dianut kelompok feminisme. Makna sesungguhnya adalah saat seluruh manusia menyadari bahwa laki – laki dan perempuan memiliki kontribusi yang sama dalam kehidupan. Serta keunggulan dan kelemahan dan masing – masing. Dan karena itu, manusia harus saling melengkapi, saling merangkul dan bahu – membahu untuk meneruskan pembangunan sebagai upaya meningkatkan perkembangan zaman. Karena tanpa kesetimbangan gender, akan terjadi ketimpangan yang merugikan kehidupan umat manusia. Maka, tugas manusia saat ini adalah melanggengkan emansipasi wanita demi majunya perkembangan zaman.










Daftar Pustaka
Tim Pelapor World Bank Publications. 2000. Pembangunan Berperspektif Gender. Herndon : World Bank Publications
Harian Sore Surabaya Post. 24 April, 2011. Wanita – Wanita dalam Geliat Emansipasi, hlm. 20.  
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_sex_ratio





0 komentar:

Posting Komentar